JURNAL

ASUPAN F-100 & MADU 

Sebagai Upaya Meningkatkan Status Gizi Anak dengan Tuberkulosis Anak

Telah terbit pada:

JKKI: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia
Beranda jurnal: https://journal.uii.ac.id/JKKI
P-ISSN 2085-4145 | E-ISSN 2527-2950

Link jurnal asli (English):
Jurnal Penelitian Nusa F-100

 

Kesehatan anak memegang peranan penting dalam menentukan kesejahteraan masa depan seseorang. Berat badan dan tinggi badan merupakan tolok ukur utama untuk menilai kesehatan anak. Penyakit tertentu, seperti tuberkulosis (TB) pediatrik, dapat menyebabkan penurunan berat badan yang signifikan. TB pediatrik, salah satu bentuk TB pada anak-anak, disebabkan oleh infeksi dari orang dewasa dengan TB aktif. TB masih menjadi tantangan kesehatan utama di Indonesia dan dunia. Pada tahun 2021, terdapat 10,6 juta kasus TB baru di seluruh dunia, yang mengakibatkan 1,6 juta kematian, dan diperkirakan 1,7 miliar orang terinfeksi laten. Indonesia menempati urutan kedua setelah India dalam jumlah kasus TB global. Tuberkulosis, disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, dan sebagian besar sumber penularan penyakit menular adalah melalui udara. Bakteri M. tuberculosis dapat ditularkan dari satu manusia ke manusia lain melalui droplet ketika penderita TB paru aktif batuk atau bersin. Seseorang dapat menjadi terinfeksi dengan menghirup bahkan sejumlah kecil bakteri ini.

Tuberkulosis menyerang orang dewasa dan anak-anak berusia 0-14 tahun. Pada tahun 2021, terdapat 6 juta kasus pada pria dewasa, 3,4 juta kasus pada wanita dewasa, dan 1,2 juta kasus pada anak-anak. Kementerian Kesehatan Indonesia melaporkan sekitar 100.726 kasus TB anak yang dilaporkan pada anak-anak di bawah usia 15 tahun pada tahun 2022, yang mewakili 14,5% dari seluruh kasus TB di negara ini. Diagnosis TB paru anak didasarkan pada gejalanya yang tidak spesifik, yang menyerupai kondisi lain seperti pneumonia, infeksi virus atau bakteri, malnutrisi, dan HIV. Sekitar 50% anak-anak dengan TB paru tidak bergejala. Diagnosis biasanya memerlukan kombinasi gejala klinis, riwayat kontak dengan pasien TB, temuan radiologis, penilaian gizi, dan, jika memungkinkan, uji bakteriologis dan tuberkulin.

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa anak-anak di bawah usia lima tahun dengan TB sering mengalami kekurangan gizi dan berat badan kurang, yang berkorelasi dengan penyakit tersebut. Tuberkulosis dapat mengganggu penyerapan nutrisi dalam sistem pencernaan, yang menyebabkan penurunan berat badan. Jika kondisi ini berlanjut tanpa intervensi gizi yang memadai, dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan fisik dan mental. Perawakan terhambat atau pendek atau panjang atau tinggi badan rendah untuk usia digunakan sebagai indikator kekurangan gizi kronis yang menggambarkan riwayat kekurangan gizi pada anak-anak di bawah usia lima tahun dalam waktu yang lama. Perawakan pendek didefinisikan apabila tinggi atau panjang badan anak berdasarkan usia dan jenis kelamin berada di bawah persentil ke-5 dari ukuran antropometri gizi standar untuk pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak usia 6 hingga 24 bulan dengan menggunakan indeks panjang badan menurut usia dari standar rujukan Badan Kesehatan Dunia (WHO) sebagai langkah untuk mendeteksi status stunting. Dampak jangka pendek dari masalah gizi tersebut dapat berupa terganggunya perkembangan otak dan kecerdasan, gangguan metabolisme, dan gangguan pertumbuhan fisik. Sementara itu, dampak jangka panjangnya dapat berupa penurunan prestasi belajar dan kemampuan kognitif serta penurunan kekebalan tubuh.

Stunting merupakan masalah gizi yang mendesak baik secara nasional maupun global. Berdasarkan Riskesdas, prevalensi stunting pada balita di Indonesia menurun dari 37,2% pada tahun 2013 menjadi 30,8% pada tahun 2018. Meskipun ada kemajuan ini, intervensi lebih lanjut diperlukan untuk mencapai penurunan yang lebih besar dan mencegah kekambuhan. Anak-anak dengan stunting menghadapi risiko lebih besar untuk tertular penyakit infeksi, pertumbuhan normal terhambat, dan perkembangan saraf terganggu, sehingga fungsi kognitif menurun, dan ketika dewasa mereka akan lebih rentan terhadap penyakit kronis. Stunting memengaruhi perkembangan anak-anak yang terhambat baik secara fisik maupun kognitif serta pertumbuhan mereka.

Stunting muncul dari faktor multidimensi, termasuk status gizi dan kesehatan ibu selama kehamilan, kondisi selama masa bayi dan balita, dan masa janin.  Intervensi gizi paling efektif bila ditargetkan pada ibu menyusui, wanita hamil, anak-anak berusia 0-23 bulan, dan anak-anak dalam 1.000 hari pertama kehidupan mereka. Sejak tahun 2022, Kementerian Kesehatan Indonesia telah berfokus pada intervensi khusus untuk anak usia 6–23 bulan, dengan menekankan pentingnya gizi pada awal kehidupan.

Pemberian Formula-100 (F-100) bernutrisi tinggi yang dikombinasikan dengan madu berpotensi untuk meningkatkan status gizi anak dengan TB pediatrik. F-100, bahan tambahan pangan yang umum digunakan untuk mengatasi kekurangan gizi, kaya akan energi, lemak, dan protein, serta menyediakan zat gizi penting. Madu, adalah cairan alami, produk lebah madu (Apis sp.) yang memiliki rasa manis dari nektar flora atau bagian tanaman lainnya. Anak-anak yang mengonsumsi madu sering menunjukkan peningkatan energi, vitalitas, dan daya tahan terhadap infeksi. Masyarakat Indonesia menggunakan madu untuk meningkatkan proses penyembuhan penyakit dan karena memiliki aktivitas bakterisida terhadap organisme patogen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemberian F-100 dan madu murni dapat meningkatkan status gizi balita penderita TB anak sehingga dapat mencegah terjadinya stunting.